VAULTSWAP NETWORK

as many earning opportunities as there are now. Many financial institutions offer a wide range of products designed to increase your capital. But most of them will not bring the desired percentage of…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Ketika Membaca Jadi Rutinitas

berbagai buku telah diterbitkan oleh banyak orang. Hanya sedikit buku yang kita mampu baca dibanding buku yang telah terbit.
Berbagai buku telah diterbitkan oleh banyak orang. Hanya sedikit buku yang kita mampu baca dibanding buku yang ada.

Kesadaran membaca baru aku dapatkan saat menginjak bangku perkuliahan. Sebelumnya membaca memang aku anggap hal yang sangat membosankan. Apalagi membaca karya sastra, rasanya tidak bermanfaat banyak untuk kehidupan. Namun semua itu mulai berubah ketika aku masuk Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Dalam suatu pertemuan, seorang pemateri diskusi berkata “Sampai kapan kalian akan mempertahankan kebodohan kalian? Saat ini kalian sudah masuk LPM, lebih baik keluar jika tidak minat membaca.”

Perkataan yang cukup tegas itu akhirnya membuatku penasaran kenapa orang-orang sangat merekomendasikan untuk terus membaca? Aku pun bertekad menyelesaikan satu buku, berjudul Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Lembar demi lembar aku baca, di awal membaca aku harus menguras semangat karena terasa begitu membosankan. Namun setelah dipertengahan novel, aku mulai merasa penasaran terhadap akhir cerita tokoh annelies dan minke. Setiap bacaku terjeda oleh beberapa kendala, aku terus mengingat dan membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya dalam cerita itu. Sensasi itu membuatku kembali dan terus kembali membaca sampai akhirnya tiba di halaman terakhir. Ada sebuah kepuasan ketika mendapatkan diri mampu menyelesaikan satu buku.

Mulai saat itu pola pikirku berubah, aku mulai memahami bahwa membaca itu sangat penting dan menarik. Kita hanya perlu memulai dengan menyelesaikan satu buku saja secara fokus maka kita akan menyadari betapa menyenangkannya membaca. Buku demi buku pun aku baca. Pada awal-awal kenaikan minat bacaku, aku cenderung tertarik karya sastra dibanding buku-buku teori. Namun setelah beberapa novel aku selesaikan, ada rasa penasaran mengusik hati: darimana mereka mendapat pengetahuan seluas itu sampai mampu menulis buku yang sangat hebat? Itulah titik dimana aku memulai untuk membaca buku-buku teori. Saat itu buku nonsastra pertama yang aku baca adalah republik ditulis oleh Plato, aku tidak mampu menyelesaikannya. Buku itu masih terasa sangat berat untukku.

Akhirnya aku memulai dari buku yang lebih ringan. Yang selanjutnya aku baca adalah buku ekonomi cukup karya Radhar Panca Dahana (RPD). Pada akhirnya walau butuh waktu agak lama, aku bisa menyelesaikan buku tersebut. Membaca buku non-sastra membuatku merasakan sensasi tersendiri. Aku mulai bisa memahami cara berpikir dengan dasar hasil bacaan. Aku bisa banyak berbagi dan berdiskusi dengan teman terkait sistem ekonomi yang ideal bagi Indonesia dengan menggambarkan pandangan RPD sang penulis.

Pada akhirnya aku memahami bahwa membaca buku sastra ataupun nonsastra punya sensasi dan manfaat tersendiri. Mungkin belum aku sebutkan untuk buku sastra, aku merasakan manfaat meningkatnya kepekaan terhadap permasalahan sekitar dan kemampuan analisis suatu permasalahan.

Tidak berhenti disitu, aku akhirnya mulai berpikir tentang konsepku dalam membaca buku. Apakah aku orang yang membaca buku hanya untuk mengisi waktu luang atau sudah memfasilitasi kebutuhanku? Aku mencoba lumayan lama merenungkan hal tersebut. Jangan-jangan selama ini aku membaca tidak ada hubungannya dengan peranku di dunia? Hanya konsumsi pengetahuan yang tidak bisa diamalkan.

Setelah pertanyaan itu mengusik cukup lama. Aku mulai membedakan membaca sebagai hobi dan membaca sebagai kebutuhan.

Jenis membaca satu ini adalah jenis yang paling banyak menurutku. Aku menemukan banyak kasus yang memang bisa dibilang mendukung argumenku bahwa banyak orang yang membaca sebagai hobi. Orang-orang yang membaca karena hobi biasanya hanya menyukai satu genre buku. Misal novel fantasi, percintaan, bahkan komik. Bahkan akupun menemukan temanku yang hanya suka membaca dari satu penulis saja, ketika disodorkan buku lain yang bukan milik penulis yang dia suka maka enggan untuk membacanya. Sebenarnya membaca karena hobi memang tidak buruk, masih ada manfaatnya. Terutama masih bisa menambah wawasan kita dan daya analisis otak kita. Tapi membaca seharusnya tidak berhenti pada ranah kesukaan belaka, itu akan menyebabkan kita hanya memiliki referensi satu sudut pandang. Sementara dunia ini sangat kompleks, banyak aspek yang saling berhubungan satu sama lain yang harus kita pahami.

Contohnya saja ketika kita mau membuka kedai kopi. Kita harus mengenal macam-macam kopi, cara penyajiannya bahkan sampai pada pembangunan karakter kedai kopi sesuai pasar. Kedai kopi cenderung dekat dengan orang-orang yang senang sastra dan diskusi santai. Maka kita harus juga memahami karakter pasar bahkan kalau bisa kita harus benar-benar memposisikan seperti pasar inginkan. Contoh itu menandakan bahwa setiap aspek kehidupan butuh keberagaman. Apalagi ketika kita menyentuh ranah sosial, bahkan ranah matematika saja tidak berhenti di matematika, justru harus dikembangkan ke ranah yang lebih luas seperti akuntansi, algoritma komputer, dan lain-lain yang mempengaruhi perkembangan zaman.

Untuk itu, membaca hanya karena hobi bagus pada awalnya saja, tapi harus di tingkatkan pada fase selanjutnya.

Mulai di titik ini, manfaat membaca akan semakin dirasakan. Membaca sebagai kebutuhan akan membuat kita mulai menakar dan menyusun buku apa saja yang harus lebih awal kita baca sebelum buku yang lainnya. Aku contohkan dengan pengalamanku, saat aku di Lembaga Pers Mahasiswa aku merasa pengetahuan akan jurnalisme sangat dangkal. Mulai dari pemahaman tentang reportase sampai memahami dengan baik kode etik jurnalistik sangat aku butuhkan di awal aku aktif berorganisasi. Akupun menyusun sebuah kurikulum baca — walau hanya dalam ingatan — terfokus lebih pada buku-buku yang aku butuhkan terlebih dahulu. Aku mulai membaca buku pedoman jurnalistik, pengantar jurnalistik, ditambah artikel-artikel yang ditulis oleh para wartawan di sebuah situs. Setelah aku mulai memahami, aku menyadari bahwa memang pengetahuan itu membantu sekali ketika melakukan peliputan. Ada keyakinan lebih ketika kita bergerak untuk sesuatu hal yang kita sudah pelajari dalam buku.

Terlepas dari itu, membaca sebagai kebutuhan sebenarnya bisa dibagi kembali menjadi dua jenis. Pertama, membaca sebagai kebutuhan yang sifatnya untuk menunjang aktivitas. Yaitu seperti sudah aku contohkan diatas. Kedua, membaca sebagai kebutuhan yang sifatnya untuk memberantas kebodohan pribadi. Konsep membaca sebagai kebutuan satu ini cukup luar biasa. Di tingkat ini kita terkesan serakah terhadap ilmu. Apapun rasanya ingin dipelajari, mau itu menunjang aktivitas ataupun tidak yang terpenting menambah wawasan ilmu. Tapi bedanya dengan membaca sebagai hobi, orang-orang ini memilih untuk membaca berbagai jenis buku dan terus meyakini bahwa akan bermanfaat di masa depan. Entah itu untuk keperluannya sendiri, atau mungkin untuk orang-orang di sekitarnya.

Kita harus bisa membayangkan seberapa luasnya ilmu yang sudah diulik oleh manusia selama berabad-abad. Satu buku yang kita baca adalah buah dari buku-buku lain yang menjadi referensinya. Dan buku-buku yang jadi referensi itu adalah buah dari referensi-referensi buku lainnya. Terus seperti itu dan entah sudah berapa buku yang telah dicetak oleh manusia untuk memajukan peradaban dunia.

Karena kesadaran begitu banyak ilmu yang bisa dipelajari, akhirnya munculah golongan orang yang maniak terhadap buku. Mereka terus merasa tidak cukup, tetap merasa bodoh, akhirnya tenggelam dalam buku-buku lainnya. Mereka seakan-akan adalah keturunan socrates yang dikenal tidak merasa tahu banyak padahal sebenarnya dia sangat mengetahui banyak hal dan sampai sekarang gagasannya dipakai dan berpengaruh besar untuk kemajuan dunia.

Sepertinya jenis pembaca berhenti di tingkat ini. Rasanya tidak ada orang yang membaca diatas tipe membaca sebagai kebutuhan. Ini hanya tingkatan yang aku buat untuk mengukur seberapa jauh kita menilai pentingnya membaca. Jika ditanya, apakah aku ingin sampai pada tingkat membaca sebagai kebutuhan yang sifatnya memberantas kebodohan diri? Jelas aku ingin. Namun pada intinya, membaca itu adalah modal, setelah itu kita ditantang untuk menuangkan pengetahuan kita dalam inovasi atau penguatan dalam bentuk pemikiran, sistem sosial, teknologi dan lainnya yang tentu memperhatikan manfaat dan dampak bagi sekitar agar tetap bijaksana.

Artikel ini dibuat berdasarkan pandangan penulis. Komentar apapun akan saya terima demi terciptanya perbaikan pemikiran kita bersama. Terima kasih.

Add a comment

Related posts:

Jamel Dean wants to become an experienced leader for Bucs

Over the past four years, Bucs cornerback Jamel Dean has steadily risen from an up-and-down rookie to a proven №2 … Over the past four years, Bucs cornerback Jamel Dean has steadily risen from an…

3 tips to learn web development

Have you always had an interest in web development but don’t really know where to start? Have you perhaps begun to learn without any further success? If the answer is Yes to any of the questions, it…

The Light of Purpose

Trying to navigate through life can sometimes feel like trying to maneuver your way through a dark forest. When you fall, your passion is what picks you up. But what drives you to keep going when…